Terjajah di Negeri Sendiri ?



Setiap orang menolak keras penjajahan. Namun pernahkah kita tahu bahwa
penjajahan itu bukan lagi didasari oleh keinginan menguasai dari bangsa lain,
melainkan dilakukan bangsa sendiri terhadap saudara-saudara sebangsanya.
Pernahkah kita merasakan adanya rasa empati, gotong royong, ramah tamah, dan
tolong menolong diantara kita. Kini semua itu, sebuah keniscayaan jika kita
salah melangkah. Bangsa ini merindukan persatuan.

Sebagaimana kerinduan setiap bangsa adalah persatuan. Sejak Indonesia
diploklamirkan sebagai negara yang diakui oleh dunia sebagai negara berdaulat
dalam kurun waktu yang tidak muda lagi, 66 Tahun sudah terlewati. Namun
fenomena yang terjadi bahwa kita tidak sedang membangun peradaban yang mengarah
pemerataan, melainkan peradaban yang mengarah kepada pertumbuhan yang biasanya
harus ada korban dari sebuah pertumbuhan yang terjadi.

Begitu juga dengan fenomena yang sangat mengusik hati kecil sebagai bagian dari
bangsa Indonesia, dimana banyak saat ini saudara-saudara kita menuntut keadilan
yang tidak kunjung hadir. Dalam tahun 2011 sudah beberapa kali kasus-kasus
memilukan dalam penegakan hukum terjadi. Kasus nenek Minah yang mengambil satu
buah kakao, anak kecil yang mencuri sandal seorang polisi di masjid, pencuri
ayam yang dilakukan oleh rakyat kecil yang menjadi korban pembiaran pemerintah
selama ini harus dihukum tanpa ada pembelaan sekalipun.

Tidak saja itu, seperti kasus besar korupsi tidak ada matinya, efek jera tidak
pernah diadakan. Omongan kosong selalu diutarakan di media, sehingga rakyat
semakin apatis dengan penyelesaian kasus korupsi, apalagi mencegah perilaku
korupsi jika semua hanya janji semata. Pemerintah legislatif dan eksekutif dari
periode ke periode selalu menghasilkan kebohongan yang terekam jelas dibenak
rakyat Indonesia.

Di waktu ada penangkapan nelayan kita yang berlayar di perbatasan yang kita
klaim masih dalam wilayah Indonesia, semua seperti kebakaran jenggot ingin
mengutuk, bahkan ingin berperang. Berperang mengandalkan kuantitas belaka
tidaklah sebanding dengan kualitas yang ingin dilawan. Tahukah kita apa yang
menjadi alasan para nelayan menangkap ikan hingga ke perbatasan dan tidak
jarang melewatinya? Barangkali kita tidak pernah mau mendengar keluh kesah
mereka di sana. Walau kita punya wakil rakyat namun tidak akan pernah tahu apa
yang sesungguhnya terjadi jika berada di balik media dan kantornya.

Para nelayan sebagai salah satu tombak penting bangsa Indonesia selain sebagai
negara agraris juga sebagai negara perikanan yang kaya akan keanekaragaman ikan
di laut, harus secara massif diberdayakan. Para nelayan sebenarnya merasa
‘terjajah’ di negeri sendiri, banyak wilayah berlayar menangkap ikan sudah
diambil dengan cara-cara ilegal, dan sudah dirusak dengan hadirnya
perusahaan-perusahaan yang tidak ramah lingkungan. Sehingga demi sesuap nasi
mereka harus berlayar ketengah laut, walau dengan resiko ditangkap atau pun
terjangan ombak. Kesejahteraan mereka juga tidak merata, bahkan masih ada para
nelayan yang hidup penuh resiko demi sesuap nasi saja, tidak seperti kebanyakan
orang yang dengan mudah mencuri uang negara demi sebuah kepuasan diri.

Persoalan Tanah

Setelah dari perairan, mari kita telisik kembali persoalan pertanahan yang kini
menjadi fenomena besar yang masih terjadi. Sedihnya lagi, tanah air sendiri
harus dijual dengan mengorbankan anak bangsa sendiri. Sudahkah kita bercermin
bahwa kita ini saudara sebangsa. Lihat saudara kita di Papua, mereka terus
menuntut keadilan dan kesejahteraan benarkah mereka sudah mendapatkannya. Jika
benar demikian tidak mungkin mereka masih meneruskan teriakan ingin lepas dari
Indonesia, dan terus membesarkan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sebagai
saudara sebangsa kita yang sampai sekarang masih menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur budaya yang terjaga oleh mereka, alam yang masih asri dikujungi. Wilayah
tambang yang sangat berharga. Semuanya niscaya bernilai tinggi jika kebodohan
masih menjajah negeri ini.

Lihat juga kasus serupa di Mesuji Lampung, Kalimantan Tengah, dan Bima Nusa
Tenggara Barat yang selalu bergejolak meminta keadilan atas kepemilikan lahan
mereka. Namun kembali negara dimana? Pembantaian hewan di Kalimantan Tengah
demi perluasan lahan sawit dan menjauhkan perkebunan dari hewan mamalia yang
sangat terancam punah, orangutan yang kini kehilangan habitatnya itu harus
terus menjadi korban. Biadabnya lagi, kasus di Mesuji Lampung yang bergejolak
dari tahun lima tahun silam telah merenggut 30 jiwa anak bumi pertiwi kita
hanya demi meminta keadilan. Pembantaian sadis yang dilakukan secara brutal
oleh pihak perusahaan dan aparat yang diduga aparat negara tersebut membuktikan
kepada kita bahwa negara bukan lagi tempat mengadu keadilan yang sesungguhnya.
Kasus Bima Nusa Tenggara Barat juga demikian, demi meneriakkan keadilan atas
usaha untuk menutup izin perusahaan yang membunuh mata pencaharian masyarakat
harus diperhadapkan pada aparat yang bringas sejak dulu hanya bisa berkata
posisi aparat itu dilematis.

Rakyat seakan hidup tanpa negara, karena negara kini seolah tidak lagi berpihak
pada rakyat. Banyak kasus-kasus besar seperti korupsi dan sengketa lahan semua
itu didasari oleh salah melangkah pemerintah selama ini. Negara yang dikenal
dengan perairannya dan pertaniannya harus tergusur dengan masuknya
perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan rakyat untuk menjadi kuli dinegeri
sendiri. Menggusur lahan rakyat demi keuntungan sepihak. Rakyat menjadi resah
dan pilu sehingga tidak jarang kita temui anak jalanan di tiap kota di tanah
air ini yang semua datang karena tidak tahu harus kemana lagi.

Pejabat dan wakil rakyat tidak lagi seiya sekata dalam usaha persatuan untuk
membangun peradaban bangsa, melainkan urusan-urusan politik yang terus mengusik
hati nurani rakyat. Pencitraan selalu hadir ditengah kondisi memilukan yang
tengah terjadi. Lembaga negara dari tingkat terendah dan terbesar semakin
banyak adanya, semua merasa perlu membangun lembaga dan komisi atas nama
keadilan, namun kembali lebih banyak menghabiskan uang negara dibandingkan
kinerjanya.

Kita tidak ingin rakyat semakin resah. Sebuah perubahan harus dimulai dari diri
sendiri, namun lebih baik jika datang dari pemimpin kita. Siapapun yang kini
menjadi pemimpin di negeri ini harus berlaku benar dalam bertindak, dan
bertindak dalam kebenaran. Jangan biarkan rakyat menderita untuk terus
merasakan dijajah di negeri sendiri. Tahun yang baru merupakan satu langkah
yang harus dimulai dengan penuh semangat persatuan diantara kita. Demi bangsa
yang bebas dan beradab.

0 komentar:

Posting Komentar