Keluarga dan Karakter Bangsa



Bangsa Indonesia telah mengalami pergeseran nilai dan karakter bangsa yang kian memprihatinkan. Nilai kejujuran yang menjadi indikator utama integritas sosial, kini seolah mulai tercerabut dari akar budaya bangsa ini. Ajaran adiluhung para pendiri bangsa untuk “bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya”, seolah mengalami pembelokan. Bukannya berfokus membangun jiwa dan karakter bangsa, selama ini kita justru sibuk berlomba memoles wajah bangsa ini dengan pembangunan materi tanpa kejelasan fungsi. Lantas, bagaimana menciptakan bangsa yang berkarakter apabila generasi muda bangsa sekarang justru sudah terkontaminasi oleh cara pandang dan perilaku yang menyimpang?

Revitalisasi keluarga

Paulo Freire (1970) berpesan, sekolah hendaknya tidak hanya diposisikan sebagai media transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga harus difungsikan sebagai media pembentukan karakter positif bagi setiap individu yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Sehingga out put pendidikan tidak hanya menghasilkan masyarakat yang berpengetahuan (well-educated people), tetapi juga mampu menciptakan sebuah masyarakat yang tercerahkan dan terbebaskan (enlightened and liberalized society).

Caranya, reformulasi kurikulum perlu dilakukan dengan menitikberatkan pada pembentukan karakter anak. Pendidikan sebaiknya lebih diarahkan pada penanaman sifat-sifat keuletan, kesabaran, bekerja keras, tolerasi, dan berintegritas. Sehingga proses belajar dapat diarahkan untuk mencetak siswa yang memiliki semangat berkompetisi (fighting spirit) yang prima, tanpa harus terjebak dalam budaya dan perilaku instan. Kolektivitas dan semangat bekerja sama Antar siswa dalam kelas juga perlu ditumbuhkan untuk menghindarkan mereka dari suasa cemburu (jealous) yang berujung pada sikap saling menjatuhkan. Prinsip-prinsip dasar etika yang juga harus diprioritaskan dalam agenda reformulasi kurikulum pendidikan.

Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah, revitalisasi peran keluarga dalam upaya penanaman prinsip etika-moral sosial dan keagaman dalam pembentukan watak dan karakter anak. Keluarga merupakan institusi primer dan fundamental bagi individu untuk mengajarkan dan menerima pendidikan dan pengajaran nilai-nilai karakter. Semakin banyak nilai-nilai positif yang ditanamkan, semakin besar harapan sang anak akan tumbuh menjadi pribadi dewasa yang bertanggung jawab, toleran, dan berintegritas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Megawangi pada tahun 2003 menunjukkan bahwa penanaman pendidikan karakter sejak usia dini di lingkungan keluarga akan menghasilkan sikap kepribadian positif anak ketika dewasa.

Keluarga merupakan unit terkecil di mana orang tua mempunyai peranan yang besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap kritisnya karena lingkungan keluarga merupakan media untuk menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif mereka. Selain itu, nilai-nilai sosial, norma agama, serta prinsip hidup yang diinternalisasikan melalui persinggungan dan interaksi sosial anak yang intensif dengan anggota keluarga akan lebih mudah menancap kuat di alam kesadaran anak yang kelak akan ‘sistem kontrol internal’ bagi perilaku mereka.

Karena itu, teladan sikap orang tua sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak-anak. Hal ini penting karena pada fase perkembangan manusia, usia anak adalah tahapan untuk mencontoh sikap dan perilaku orang di sekitar mereka. Terutama bagi anak usia sekolah yaitu usia 6 sampai dengan 12 tahun, menurut teori Social Learning Vygotsy, sikap teladan orang tua menjadi hal yang vital karena pada usia tersebutlah mereka butuh penguatan karakter dari lingkungan sekitar. Dengan sikap dan teladan yang baik ditambah dengan penguatan ‘emotional bonding’ antara anak dengan orang tua, upaya infiltrasi nilai-nilai moral dan karakter yang baik pada anak akan lebih mudah untuk dilakukan. Selain itu, sikap keterbukaan antara anak dan orang tua juga sangat dibutuhkan untuk menghindari anak dari pengaruh pergeseran nilai-nilai negatif yang ada di luar lingkungan keluarga, termasuk di lingkungan sekolah.

Dengan demikian, diharapkan dalam rangka memperingati Hari Keluarga 29 Juni, peran keluarga sebagai unit pertama dan utama bagi penanaman nilai-nilai karakter bagi anak dapat kembali digalakkan fungsinya. Sehingga nilai-nilai karakter akan tertanam kuat di diri anak-anak kita. Apabila hal tersebut telah terlaksana, anak-anak dengan sendirinya akan dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan tahap perkembangannya. Karena dengan penguatan karakter individu anak, diharapkan mereka tidak mudah terbawa arus perkembangan negatif di lingkungan sekitar, termasuk di lingkungan sekolah.

Dengan demikian, berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini mengenai pergeseran nilai karakter bangsa yang terjadi pun di lingkungan pendidikan dapat menuntun para orang tua sebagai penanggung jawab perkembangan anaknya untuk dapat menguatkan kembali fungsi keluarga sebagai benteng pertahanan bagi terjadinya pergeseran nilai-nilai karakter bangsa

0 komentar:

Posting Komentar